Jumat, 08 Juli 2011

CINTA SMA


“ Sial…..” umpatku, jam menunjukn pukul 06.10 WIB, aku berusaha secepat mungkin pergi kekamar mandi, cuci muka  dan gosok gigi alakadarnya. Kupakai seragam olahraga yang sudah kuperketat ukurannya kanan kiri sehingga membentuk lekuk tubuhku yang mungil namun berisi. Minyak wangi kububuhkan disekujur tubuhku… ahh… tak ada yang tahu aku tidak mandi. Setelah selesai olahragapun masih ada waktu untuk pulang kekosan dan mandi pikirku.

Hari ini hari sabtu, harusnya hari ini libur sekolah, tapi sekolahku berkebijakan bahwa sabtu adalah hari olahraga dan hari ekstrakulikuler, namun bebas. Kamu dapat memakai sepatu warna apa saja, warna kaos kaki apa saja, model apa saja yang tentunya sesuai dengan usia kamu. Aku tak begitu suka berorganisasi, satu – satunya ekstrakulikuler yang aku ikuti adalah PMR, itupun dulu, saat aku masih di kelas X. Sekarang aku ada dikelas XII, pihak sekolah membebaskan kami untuk tidak ikut Ekstrakurikuler agar kami dapat konsentrasi menghadapi ujian akhir Negara dan ujian akhir sekolah.

Jam 6 teng kami kelas XII IPA maupun IPS harus sudah berkumpul di lapangan yang cukup terkenal dikotaku, Karangpawitan. Lapangan diluar sekolah yang biasa dijadikan tempat olahraga oleh siapapun dikota kami, dari berbagai usia, pendidikan dan profesi. Tak jarang kami juga berolahraga bersama dengan petinggi ( baca : BUPATI ) di Kota kami. Katika sampai, tidak ada pelaporan, kami hanya harus berlari 10 putaran mengelilingi luas lapangan, setelah itu boleh beristirahat sebentar untuk kemudian berbaris berdasarkan kelas dan diabsen satu persatu.

Guru olahraga kami sangat tegas, selalu memberi nasihat betapa pentingnya olahraga untuk menjaga kesehatan. Nasihat yang tak lupa selalu di akhirinya dengan kata “Mensana In Corpore Sano, di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat “. Kami selalu bertepuk tangan usai beliau selesai memproklamasikan kata – kata itu.

Sapaan hangat selalu terlontar dari teman – teman ketika kami berpapasan, tak lupa sapaan dari sang kekasih hati membuatku lupa kejadian terlambat bangun pagi ini. “ Pagi Sweetheart…” seraya menyunggingkan senyum sehangat mentari pagi ini.

Dia, kekasih paling baik yang pernah aku punya. Aku tertarik padanya sejak awal masuk kelas XI, kami tidak pada kelas yang sama dikelas X, aku hanya pernah melihatnya lewat di depan kelasku, tak ada perasaan apa – apa. Namun setelah masuk kelas yang sama, ada ketertarikan tersendiri padanya, dia pintar dan aku mencintai laki – laki pintar.

Arogansinya menyurutkan cintaku kala itu, kata – katanya yang menusuk hatipun kadang terlontar kebeberapa temanku. Ahhh… kuurungkan saja hasratku dan memilih untuk men’stop’ perasaanku. Dia pintar secara kognitif, tapi tak pintar secara emosional.

Aku hanya bisa bercerita pada teman sebangkuku kala itu, dia berusaha mendekatkan kami, pernah temanku mengajukan kelompok diskusi bersama mata pelajaran bahasa Indonesia, namun jawabannya “ Saya Independen “. Halooooo… mata pelajaran ini meminta kita mengerjakan secara berkelompok, bukan Individu. Dia selalu tertawa jika ku kenang masa itu, masa kesombongannya sebelum kami bersama.

Kedekatan kami berawal ketika dia mulai melirik adik kelasku yang juga satu kos denganku. Aku menjadi “mak comblang”. Menitipkan salam, membuat jadwal kencan, sampai akhirnya mereka pacaran. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang berbeda setelah itu, dia baik, namun penuh tekanan di dalam keluarganya, mungkin hal inilah yang membuat dia kurang bijak dalam menjaga kata – katanya.

Aku selalu menjadi teman cerita yang baik, melerai pertengkaran ketika mereka berselisih paham. Namun sore itu dia tampak bersedih, mereka berpisah. Ada perasaan sedih namun juga ada perasaan bahagia yang terselip diantaranya. Aku hanya bisa menenangkan dan menjadi pendengar yang baik untukknya.

Kedekatan kami terus berlanjut, dia menjadi teman cerita yang baik dari hari kehari, dia lucu dan juga pintar. Sifat angkuhnya perlahan hilang. Sudah menjadi tugasku sebagai sahabatnya untuk mengikis sifat buruknya bukan???. Aku merasakan perlakuannya yang mulai berubah menjadi semakin sayang padaku. Hari itu hari Jumat, ketika dia mengatakan “ Maukah kau menjadi pendampingku??? “. Aku terbahak ketika mendengar pengkuannya yang terlampau dewasa itu, ‘pendamping’, otomatis dia beringsut dari serius ke muka marah, namun aku mengaku terharu dan memberikan senyum termanisku yang membuat hatinya luluh. Pernyataannya tak langsung kujawab kala itu, “ Bolehkah aku memikirkannya dahulu? “ kilahku.

Hhmmmm… Inilah saat yang kutunggu, ketika dia mempunyai perasaan yang sama denganku. Namun, ada yang mengganjal pada hubungan kami, kami berbeda. Kami mempunya keyakinan yang tak sama. Setelah kumintai pendapat sana sini, akhirnya kuputuskan untuk menerima cintanya, hanya pacaran pikirku, belum tentu kami akan menikah.

Hari berganti hari, kami begitu dekat, kami memang belum lama pacaran, namun kami berdua merasa sudah bertahun – tahun bersama, saling mengerti, saling menyayangi, saling berbagi dan saling melengkapi. Dia laki – laki yang begitu baik. Kami begitu nyaman satu sama lain. Menurutku dia laki – laki yang lengkap. Dia ganteng, berpostur ok, otak encer yang sering menyumbang piala di sekolah kami, tidak pelit, baik, menyayangiku dan romantis. Dia memberiku coklat hampir setiap hari, memberikan hadiah setiap memperingati bulan jadian, mengajak makan malam dan tak jarang pula mengajakku bermesraan di tempat – tempat yang tak terpikirkan olehku. Dia membawa pengaruh baik padaku, mengajariku bahasa asing, membuatku masuk bimbingan belajar dan menyemangatiku meraih masa depan. Kami bahagia.

Tak terasa kami sudah berada di kelas XII. Kegiatan belajar mengajar kian sibuk, berangkat sekolah pagi pulang sudah larut.

Waktu itu akhir dari hubungan kami, tak sengaja handphonenya tertinggal dirumah, kami memang berhubungan tanpa diketahui keluarga. Dia memang belum boleh berhubungan dengan lawan jenisnya, dia dituntut untuk menjadi laki – laki yang sukses, dituntut untuk bisa seperti kakak tertuanya.

Sore itu, tiba – tiba orangtuanya menyambangi sekolah kami, mencari Nico untuk menjemputnya pulang. Perasaaan khawatir melingkupi hatiku, firasatku tidak baik. Raka dan Dede temanku yang satu kelompok belajar, menyusul Nico pulang untuk menyelesaikan tugas kelompok yang memang sudah dijanjikan dikerrjakan di rumah Nico.

Malam hari Raka mendatangi kosanku, membawa secarik kertas dari Nico untukku. Dia mengabariku bahwa keluarganya membaca semua sms kami berdua, kini keluarganya tahu tentang hubungan kami. Aku menangis ketika Raka menceritakan apa yang terjadi di rumah Nico saat itu, Raka bilang, Nico di pukul, di bentak dan keluarganya meminta Nico untuk tidak berhubungan lagi denganku.

Isi suratnya waktu itu hanya berupa daftar apa yang harus kulakukan jika keluarganya mendatangiku, mulai dari tempat kami saling mengenal, kami dipastikan mengaku bertemu di tempat olimpiade, mengaku anak dari keluarga terpandang, dari keluarga kaya dan pintar. Hhhhmmmm… Nico…

Aku tak keberatan berbohong untuk dia. Namun, aku harus menyelamatkan hubungan antara anak dan keluarganya. Aku tak mau merusak kehangatan keluarga mereka. Aku memutuskan untuk berpisah dengannya.

Ada air mata di sudut matanya, kami masih saling mencintai, tapi tak mungkin bagiku menjadi sumber ketidakbahagiaan mereka. Dia berujar akan melakukan apa saja untuk tetap bersamaku, bahwa ia sanggup meninggalkan semuanya demi aku. Tapi aku justru akan merasa besalah jika itu terjadi.

“ Aku mencintaimu Nico, sangat… tapi aku tidak bisa menjadi sumber ketidakbahagiaan sebuah keluarga, aku tidak mau hubunganmu dengan keluargamu menjadi renggang, percayalah ini yang terbaik untuk kita “ kata – kata itu yang kupilih menjadi penutup kisah cinta kami.

Setelah hari itu hubungan kami kian memburuk, tak ada tegur sapa diantara kami meskipun kami berada dikelas yang sama, tak ada cinta itu lagi. Ketika aku mengutarakan perasaan kehilangannku dan memberitahunya bahwa persaaanku masih sama seperti dulu lewat email, dia membalas. “ I HAD CLEANED AND CLOSED MY HEART. NO WOMAN GREAT SUCCESS “. Aku menyerah, kutemukan lagi arogansinya dulu. Mungkin inilah cara terbaik Tuhan menyadarkanku bahwa kami berbeda.

3 komentar:

  1. cerita yang panjang...
    keren uy...
    baru tau aku cerita sebenarnya...
    heu..

    “ Aku mencintaimu Nico, sangat… tapi aku tidak bisa menjadi sumber ketidakbahagiaan sebuah keluarga, aku tidak mau hubunganmu dengan keluargamu menjadi renggang, percayalah ini yang terbaik untuk kita “ kata – kata itu yang kupilih menjadi penutup kisah cinta kami.

    BalasHapus
  2. ceritanya da di edit ulil... ga 'plek' sama... apabila ada kesamaaan tokoh, nama dan kejadian, semuanya hanyalah kebetulan... hahahaha... (padahal true story.. :))

    BalasHapus
  3. hoo..true story toh..padahal dah senang tuh gw tadinya, tak kirain si jeeung ini dah mulai berkaryaaa..... hehehe :P

    Bagus euy gaya berceritanya mengalir.. tp alur-nya msh ga konsisten...mgkn karena kebawa ama true story yaa,,,

    overall..good :)

    **SuSi nih (hehe)**

    BalasHapus