Sabtu, 28 Mei 2011

_New Day Has Come_



Untuk melupakan cinta lama, memang tidak salah menggantikannya dengan cinta yang baru.

The other guy has come…
Awalnya ragu, tapi bukankah kesempatan dan waktu tidak akan kembali lagi? Just take a chance.  Dan sekarang toh keraguan akan kesalahan itu tak terjawab.

Saya hanya berpikir mungkin inilah jawaban Tuhan atas doa – doa saya. Sudah cukup saya menangisi kepergian mantan pasangan saya, jika dia bisa bahagia dan menjalani kembali hidupnya, mengapa saya tidak?

Pelarian? Tentu bukan. Saya hanya mengambil kesempatan untuk bisa kembali menjalani kehidupan saya. Saya tidak akan sembrono mempertaruhkan kebahagiaan saya hanya karena untuk melarikan diri, melampiaskan kesedihan, membalas dendam atau apapun itu, karena sungguhlah sulit untuk mengembalikan hati ke keadaan semula.

Dia mengembalikan senyuman di wajah saya, mengembalikan semangat di hidup saya dan membuat saya kembali merindukan seseorang.

Tuhan begitu baik, memulihkan hati saya begitu cepat tanpa saya duga dan kemudian mengirimkan seseorang untuk saya. Thanksfull God..!!!

Akhirnya...



Tak dapat ku bendung lagi keinginan untuk sekedar mendengar suara miliknya, tawa riangnya atau nada suara manjanya. Aku merindukannya jauh di dasar hatiku. Tak dapat ku mengerti ketika jemariku masih saja lincah memencet nomer telponnya. Beberapa nada sambung teratur menyahut di seberang sana, lama tak ada jawaban, putus asa ku kira dia tidak akan pernah lagi menjawab telponku seperti yang selama ini dilakukannya. Usaha memisahkan aku dengan segala hal tentangnya.

Di detik terakhir terdengar suara telpon diangkat, seluruh tubuhku bergetar, udara dingin menjalari setiap aliran darahku, aku seperti beku, tak yakin bisa mendengar suara itu lagi. Suara dia. “ Halooo…”

4 jam lebih kami bercerita, obrolan kami masih mengalir tanpa canggung, kami masih sama, aku masih sangat mencintainya. Malam ini pun aku tahu, dia benar – benar tak terjamah lagi. Kabar hebat ku dengar sendiri dari bibir yang dulu milikku.

“ Abang akan menikah tahun ini, abang sudah bertemu dengan keluarganya”.
Suaraku tercekat, aku pun serasa tak bisa bernafas. Air mataku menetes perlahan yang kemudian menjadi deras, kututup mulutku agar tak terdengar isakanku olehnya, aku tak ingin merusak kebahagiannya, bagaimanapun aku harus bahagia juga meskipun itu tak akan bisa.

“ Jangan datang kepernikahanku ya..?!” pintanya
“ Kenapa abang? Aku kan ingin datang, aku ingin melihat pernikahanmu” dengan suara senormal mungkin menutupi tangisku

“ Kamu kenapa? Jangan nangis. Inilah yang abang takutkan, klo kamu nangis disana, yakin, abang ga akan jadi nikah.”

Aku tak bisa lagi menyembunyikan perasaan sedih yang membuncah, tak lagi kututupi isak tangisku, aku menangis lagi.

“ ***… ayolah, abang memberitahumu, karena abang pikir kamu sudah mengalami masa yang berbeda setelah kita pisah, dan abang pikir kamu sudah bisa lebih baik.menyikapi kabar ini”

Aku berusaha meredam tangisku. Dengan suara sengau aku menjawab “ Aku tidak pernah baik – baik aja abang, aku berusaha mengerti, aku berusaha melupakan semua tentang kita, aku juga maunya melupakan kita, sangat ingin, tapi aku belum bisa.”

Dalam diam sungguh aku ingin membunuh diriku sendiri, aku sungguh benci diriku yang tak juga mau mengerti. Bukankah aku mencintainya sepenuh hatiku? Bukankah aku ingin dia bahagia? Tapi kenapa aku masih saja membuatnya risau akan diriku sendiri? Harusnya aku menunjukan kalau aku baik – baik saja, aku bisa bahagia melihat dia bahagia. Tapi aku sungguh tidak bisa hidup tanpa dia. Aku nestapa.

Aku tak bisa memejamkan mataku, terakhir telpon terputus, yang ku ingat aku berjanji untuk tidak mengganggu hubungannya dengan perempuan pilihannya. Aku harus berjanji padanya, pada diriku dan pada Tuhanku.

Tak ada lagi peganganku kecuali Tuhan. Tuhanlah yang akan menguatkanku. Yang akan menolongku. Ya Allah… Tolong aku…

Dont Go....!!!


“ Jangan pergi… “ igaunya. Aku tak tahu apa yang sedang di impikannya, dia menarik tanganku, merapatkan tubuhnya kearahku, memelukku erat seolah benar – benar tak ingin di pisahkan. Aku pun merapatkan pelukanku, aku sesak, tapi aku tak ingin beranjak, tak ingin kejujuran ini hilang dari hubungan kami. Kujujuran yang bersumber dari alam bawah sadarnya yang tulus, aku tahu itu.

Hari itu pertemuan kali pertama kami setelah berpisah selama 2 bulan, aku sangat merindukannya, aku masih tak percaya kami dapat bertemu lagi setelah perpisahan itu. Tak ada perasaan cinta yang terkikis sedikitpun. Dia masih orang yang kucintai.

“ Aku senang kamu ada bersamaku lagi, ada dikamarku, memelukku, tapi pernahkan kamu merasa lelah dan bertanya sampai kapan kita harus seperti ini?, ayolah bisakah, kamu saja yang menjadi istriku.“ hatiku ciut mendengar kata – katanya, kata yang ku dengar dari orang yang sangat aku inginkan jadi pendampingku.

“ Bang, bisakah kita tidak membahas hal itu dulu? Aku hanya ingin menikmati hari ini, bersamamu, aku tak mau membicarakan hal ini dulu. “  kilahku.

“ Aku tahu, aku hanya tak ingin terus – menerus memikirkan masalah ini, jika kita menikah, tak ada lagi yang akan kupikirkan, semuanya akan lebih mudah ”. Aku hanya memberikan jawaban dengan senyuman. Karena aku tahu, dia tahu jawabannya. Lalu dia menambahkan kata – katanya seolah manuver senyumanku berhasil menyadarkannya

 “ Aku yang salah, harusnya tak kuberi kamu ruang lagi dalam hatiku, tak kuangkat telponmu, tak ku balas smsmu, kamu terlalu baik, terasa sekali setiap pulang kerja aku merasa kesepian, tak ada tempat untuk menceritakan kejadian dikantor, atau sekedar sharing kegiatan kita sehari – hari”

       Aku memandangnya, dia duduk di sampingku, kutatap air mukanya dalam, hatiku menangis, tak ingin dia pergi lagi, tapi aku pun tak bisa menahanya lagi.
“ Kalau berbicara salah, aku yang salah, aku yang terus menghubungimu, aku yang masih saja tidak rela hubungan kita berakhir mesipun tak ada jalan lagi untuk kita” sungguh aku tak ingin dia menyalahkan dirinya atas ketidakberhasilan hubungan kami. Bisakah kita berhenti membahas ini? Saat bersamamu sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita “. Dia Tersenyum, memandang dan memelukku.

Malam itulah yang ku ingat sebagai malam terakhir kami, malam terakhir aku memandangnya tertidur dengan desahan nafas naik turun yang teratur, malam terakhir aku dapat mencium aroma tubuhnya yang tak akan pernah terlupakan, malam terakhir aku melihatnya, malam terakhir kami tidur saling berpelukan. Tak ada malam itu lagi meskipun harus kugantikan dengan bayaran mahal, tak ada malam itu lagi walaupun aku pertaruhkan hidupku.

Dad.....

Aku tertegun melihat sosok yang ku kenal selama hidupku, beliau tertidur pulas, dengan desahan nafas teratur, tak ada lagi dengkuran yang dulu membahana yang mencerminkan kejayaannya di seisi rumah kami, tak ada lagi tubuh gemuk, gagah dan  berisi itu lagi, yang ada hanya guratan – guratan senja di wajahnya, Ayahku…

Beliau yang kukaenal dulu sebelum aku dewasa adalah orang yang paling bertanggung jawab di antara saudara – saudara kandungnya, orang yang paling berhasil memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya, memberikan pendidikan yang layak bagi anak – anaknya meskipun tak semua sampai kejenjang perguruan tinggi dan orang yang paling bisa di andalkan mengenai masalah ekonomi ketika terjadi kesusahan menimpa keluarga besar kami.

Beliau tak banyak berkata – kata, cenderung jarang berkomunikasi dengan keluarga ibuku, tapi beliau peduli. Beliau menikahi ibuku hampir 27 tahun silam, dan selama itu pula beliau menghianati ibuku… cerita yang tak pernah aku tahu sampai ibu merasa layak aku tahu. Namun cerita terakhir inilah yang memporakporandakan keluargaku.

Saat itu, 5 tahun lalu, sepulang sekolah SMA, aku mendapati ibu menangis sambil memegang baju jahitannya, menuntaskan tugasnya sebagai penjahit, ibu yang masih saja bekerja meskipun suaminya sudah mendapati jabatan paling tinggi di desanya. Ibu yang “ wonder woman “ yang bisa melakukan segalanya, tak tergantung pada suami dan mandiri. Terbata beliau menceritakan kelakuan ayah yang tak lagi berperasaan, berpoligami lagi.

Aku dapat merasakan kesedihan ibuku, aku mematung dengan pancuran airmata yang sama banyaknya dengan ibuku. Duhai ayah… apa kurangnya Ibuku? Beliau cantik, pintar ( lebih pintar daripada engkau ), meneduhkan, melayanimu, melahirkan anak – anakmu, membantumu mencari nafkah, setia padamu dan tak pernah meninggalkan engkau dari mulai engkau bukan apa – apa. Teganya…

Ayahku yang dahulu ku banggakan, ayah yang selalu mengajari kami beribadah, lama, beliau telah membuatku kecewa, menghianati kami, menampar wajah ku dan kakak tercintaku yang dahulu di elus dan diciumnya setiap kami bangun pagi… Ahhh… aku benar – benar terluka dibuatnya.

Ahhh… kuurungkan niat untuk memeluk beliau atau sekedar menangis melihat beliau tergeletak di alas tikar tanpa kasur di depan TV itu, tempat favoritnya dirumah ini setelah kekuasaan itu tak lagi di genggamnya. Aku tak ingat lagi kapan Ayah dan Ibuku tidur dalam kamar yang sama, yang ku tahu, sejak saat itu ayah dan ibuku tinggal dalam dunia yang berbeda meskipun di bawah atap yang sama.

Salahkah, bila saat ini aku tidak mencintai beliau lagi seperti dulu??? Bila aku tak lagi peduli dengan nasihat – nasihat  yang masih kerap di kuliahinya padahal beliau tidak lagi menjadi tauladan yang baik untuk kami, bila aku tak lagi berbicara santun ketika berbicara dengannya, bila aku tak lagi ingin melihat beliau di rumah, bila aku tak lagi ingin berbicara dengan beliau???

Apa yang masih beliau pertimbangkan untuk mempertahankan “keluarga” di luar kami. Hidupnya tak lagi kaya, dompetnya tak lagi berada, sakunya kering tak berisi rupiah, umur yang tak lagi muda, keadilan yang tak pernah dilakukannya, tubuh subur yang tak lagi miliknya, orang – orang suruhan yang tak lagi bekerja untuknya dan kekuasaan yang tak lagi disisinya. Lalu ketika aku memandangnya malam ini dengan segala ketidakberdayaan itu, haruskah ku peluk beliau? Haruskah kuselimuti tubuh beliau ketika tubuh itu kedinginan di lantai yang hanya dialasi tikar?

Beliau tak pernah sadar bahwa kami dulu bersamanya dan masih akan menerima beliau saat beliau melepaskan “keluarga” yang di bangun dengan pondasi dari setiap duri yang ditusukan di hati kami. Aku tak pernah mengerti, mengapa ada penghianat dalam keluarga yang baik – baik saja di dunia ini, mengapa ada perempuan yang mau dinikahi oleh laki – laki yang jelas beristri demi kesenangan di dunia, mengapa ada laki – laki yang hanya bermodalkan uang, menjadikan syarat syahnya poligami.

Batinku meronta, dia tetap saja ayahku, atas campur tangan tetes spermanyalah aku hidup, atas kerja kerasnyalah aku mengenyam pendidikan, atas jerih payahnyalah aku bisa berteduh malam ini. Ya, karena beliau. Namun, aku tetap saja manusia. Dia juga tetap saja penghianat bagiku.

Tuhan, tolong jangan salahkan aku…