Sabtu, 28 Mei 2011

Dad.....

Aku tertegun melihat sosok yang ku kenal selama hidupku, beliau tertidur pulas, dengan desahan nafas teratur, tak ada lagi dengkuran yang dulu membahana yang mencerminkan kejayaannya di seisi rumah kami, tak ada lagi tubuh gemuk, gagah dan  berisi itu lagi, yang ada hanya guratan – guratan senja di wajahnya, Ayahku…

Beliau yang kukaenal dulu sebelum aku dewasa adalah orang yang paling bertanggung jawab di antara saudara – saudara kandungnya, orang yang paling berhasil memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya, memberikan pendidikan yang layak bagi anak – anaknya meskipun tak semua sampai kejenjang perguruan tinggi dan orang yang paling bisa di andalkan mengenai masalah ekonomi ketika terjadi kesusahan menimpa keluarga besar kami.

Beliau tak banyak berkata – kata, cenderung jarang berkomunikasi dengan keluarga ibuku, tapi beliau peduli. Beliau menikahi ibuku hampir 27 tahun silam, dan selama itu pula beliau menghianati ibuku… cerita yang tak pernah aku tahu sampai ibu merasa layak aku tahu. Namun cerita terakhir inilah yang memporakporandakan keluargaku.

Saat itu, 5 tahun lalu, sepulang sekolah SMA, aku mendapati ibu menangis sambil memegang baju jahitannya, menuntaskan tugasnya sebagai penjahit, ibu yang masih saja bekerja meskipun suaminya sudah mendapati jabatan paling tinggi di desanya. Ibu yang “ wonder woman “ yang bisa melakukan segalanya, tak tergantung pada suami dan mandiri. Terbata beliau menceritakan kelakuan ayah yang tak lagi berperasaan, berpoligami lagi.

Aku dapat merasakan kesedihan ibuku, aku mematung dengan pancuran airmata yang sama banyaknya dengan ibuku. Duhai ayah… apa kurangnya Ibuku? Beliau cantik, pintar ( lebih pintar daripada engkau ), meneduhkan, melayanimu, melahirkan anak – anakmu, membantumu mencari nafkah, setia padamu dan tak pernah meninggalkan engkau dari mulai engkau bukan apa – apa. Teganya…

Ayahku yang dahulu ku banggakan, ayah yang selalu mengajari kami beribadah, lama, beliau telah membuatku kecewa, menghianati kami, menampar wajah ku dan kakak tercintaku yang dahulu di elus dan diciumnya setiap kami bangun pagi… Ahhh… aku benar – benar terluka dibuatnya.

Ahhh… kuurungkan niat untuk memeluk beliau atau sekedar menangis melihat beliau tergeletak di alas tikar tanpa kasur di depan TV itu, tempat favoritnya dirumah ini setelah kekuasaan itu tak lagi di genggamnya. Aku tak ingat lagi kapan Ayah dan Ibuku tidur dalam kamar yang sama, yang ku tahu, sejak saat itu ayah dan ibuku tinggal dalam dunia yang berbeda meskipun di bawah atap yang sama.

Salahkah, bila saat ini aku tidak mencintai beliau lagi seperti dulu??? Bila aku tak lagi peduli dengan nasihat – nasihat  yang masih kerap di kuliahinya padahal beliau tidak lagi menjadi tauladan yang baik untuk kami, bila aku tak lagi berbicara santun ketika berbicara dengannya, bila aku tak lagi ingin melihat beliau di rumah, bila aku tak lagi ingin berbicara dengan beliau???

Apa yang masih beliau pertimbangkan untuk mempertahankan “keluarga” di luar kami. Hidupnya tak lagi kaya, dompetnya tak lagi berada, sakunya kering tak berisi rupiah, umur yang tak lagi muda, keadilan yang tak pernah dilakukannya, tubuh subur yang tak lagi miliknya, orang – orang suruhan yang tak lagi bekerja untuknya dan kekuasaan yang tak lagi disisinya. Lalu ketika aku memandangnya malam ini dengan segala ketidakberdayaan itu, haruskah ku peluk beliau? Haruskah kuselimuti tubuh beliau ketika tubuh itu kedinginan di lantai yang hanya dialasi tikar?

Beliau tak pernah sadar bahwa kami dulu bersamanya dan masih akan menerima beliau saat beliau melepaskan “keluarga” yang di bangun dengan pondasi dari setiap duri yang ditusukan di hati kami. Aku tak pernah mengerti, mengapa ada penghianat dalam keluarga yang baik – baik saja di dunia ini, mengapa ada perempuan yang mau dinikahi oleh laki – laki yang jelas beristri demi kesenangan di dunia, mengapa ada laki – laki yang hanya bermodalkan uang, menjadikan syarat syahnya poligami.

Batinku meronta, dia tetap saja ayahku, atas campur tangan tetes spermanyalah aku hidup, atas kerja kerasnyalah aku mengenyam pendidikan, atas jerih payahnyalah aku bisa berteduh malam ini. Ya, karena beliau. Namun, aku tetap saja manusia. Dia juga tetap saja penghianat bagiku.

Tuhan, tolong jangan salahkan aku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar