Sabtu, 28 Mei 2011

Akhirnya...



Tak dapat ku bendung lagi keinginan untuk sekedar mendengar suara miliknya, tawa riangnya atau nada suara manjanya. Aku merindukannya jauh di dasar hatiku. Tak dapat ku mengerti ketika jemariku masih saja lincah memencet nomer telponnya. Beberapa nada sambung teratur menyahut di seberang sana, lama tak ada jawaban, putus asa ku kira dia tidak akan pernah lagi menjawab telponku seperti yang selama ini dilakukannya. Usaha memisahkan aku dengan segala hal tentangnya.

Di detik terakhir terdengar suara telpon diangkat, seluruh tubuhku bergetar, udara dingin menjalari setiap aliran darahku, aku seperti beku, tak yakin bisa mendengar suara itu lagi. Suara dia. “ Halooo…”

4 jam lebih kami bercerita, obrolan kami masih mengalir tanpa canggung, kami masih sama, aku masih sangat mencintainya. Malam ini pun aku tahu, dia benar – benar tak terjamah lagi. Kabar hebat ku dengar sendiri dari bibir yang dulu milikku.

“ Abang akan menikah tahun ini, abang sudah bertemu dengan keluarganya”.
Suaraku tercekat, aku pun serasa tak bisa bernafas. Air mataku menetes perlahan yang kemudian menjadi deras, kututup mulutku agar tak terdengar isakanku olehnya, aku tak ingin merusak kebahagiannya, bagaimanapun aku harus bahagia juga meskipun itu tak akan bisa.

“ Jangan datang kepernikahanku ya..?!” pintanya
“ Kenapa abang? Aku kan ingin datang, aku ingin melihat pernikahanmu” dengan suara senormal mungkin menutupi tangisku

“ Kamu kenapa? Jangan nangis. Inilah yang abang takutkan, klo kamu nangis disana, yakin, abang ga akan jadi nikah.”

Aku tak bisa lagi menyembunyikan perasaan sedih yang membuncah, tak lagi kututupi isak tangisku, aku menangis lagi.

“ ***… ayolah, abang memberitahumu, karena abang pikir kamu sudah mengalami masa yang berbeda setelah kita pisah, dan abang pikir kamu sudah bisa lebih baik.menyikapi kabar ini”

Aku berusaha meredam tangisku. Dengan suara sengau aku menjawab “ Aku tidak pernah baik – baik aja abang, aku berusaha mengerti, aku berusaha melupakan semua tentang kita, aku juga maunya melupakan kita, sangat ingin, tapi aku belum bisa.”

Dalam diam sungguh aku ingin membunuh diriku sendiri, aku sungguh benci diriku yang tak juga mau mengerti. Bukankah aku mencintainya sepenuh hatiku? Bukankah aku ingin dia bahagia? Tapi kenapa aku masih saja membuatnya risau akan diriku sendiri? Harusnya aku menunjukan kalau aku baik – baik saja, aku bisa bahagia melihat dia bahagia. Tapi aku sungguh tidak bisa hidup tanpa dia. Aku nestapa.

Aku tak bisa memejamkan mataku, terakhir telpon terputus, yang ku ingat aku berjanji untuk tidak mengganggu hubungannya dengan perempuan pilihannya. Aku harus berjanji padanya, pada diriku dan pada Tuhanku.

Tak ada lagi peganganku kecuali Tuhan. Tuhanlah yang akan menguatkanku. Yang akan menolongku. Ya Allah… Tolong aku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar